Kamis, 24 Oktober 2013

Curahan Hati Seorang Ibu


Dalam derasnya hujan ibu mendekapmu. Menenangkanmu saat kilat menyambar dan petir menggelegar. Ibu biarkan engkau terlelap dalam dekap. Lalu ibu pindahkan engkau perlahan ke tempat tidur, memastikan selimutmu nyaman dan tidak akan membiarkanmu bermimpi buruk.

Ibu perhatikan engkau, Nak. Ibu lihat kakimu yang biasa tertatih telah memanjang. Tanganmu yang biasanya hanya bisa memukul-mukulkan sendok plastik ketika makan sudah kuat menggenggam. Engkau sudah bisa melompat walau sesekali. Engkau sudah bisa melempar bola walau belum jauh sekali.

Setelah pagi menjelang, ibu membawamu ke halaman.

Gadis dalam Gerobak


*

Ridan adalah sebuah desa yang terletak di sebuah bukit yang jauh sekali dari keramaian kota. Mata pencaharian penduduk di desa itu pada umumnya adalah berkebun. Pagi-pagi sekali bapak-bapak di desa itu sudah meninggalkan rumahnya untuk berkebun, termasuk Bapak Haira. Bapak Haira bekerja di kebun Ubi Madu milik Pak Rusdin. Tapi, itu dulu saat Bapak Haira masih hidup.

Haira adalah gadis kecil dua tahun yang menggemaskan. Rambutnya keriwil dan matanya bulat, begitu juga hidungnya. Setelah selesai membereskan rumah, Ibu Haira menanti Bu Dutmini dengan kereta kudanya—seseorang yang biasa mengantarkan cuciannya ke rumah Ibu Haira. Biasanya cucian itu akan diantar ke rumah Bu Dutmini satu kali seminggu setelah pakaian bersih menumpuk. Ibu Haira mengantarkannya dengan gerobak karena rumah Bu Dutmini cukup jauh untuk ditempuh dengan berjalan kaki. Di dalam gerobak

Bedak yang Tertumpah



Pagi itu, Uci bermain di kamar dengan bonekanya. Uci adalah gadis kecil berusia empat tahun. Uci mendudukkan boneka pandanya di kursi dan ia duduk di lantai. Uci memegang kuali mainan dan meletakkan kuali itu di atas kompor mainan. Ia mengambil manik-manik gelang yang sudah putus saat kemarin gelangnya tersangkut di pagar rumah. Manik-manik itu ia masukkan ke dalam kuali mainan, lalu menaburkan bedak dan mengaduk-aduknya.

“Uci sayang, papa pergi kerja dulu ya… Belajar yang rajin di rumah ya sama mama. Nanti, papa belikan buku gambar,” Uci menyalami papanya, lalu ia berdiri dan mengantarkan papanya sampai pagar rumah bersama mamanya.

“Siap, papa. Usyi bisa jadi anak pintay,” ucapnya sambil tersenyum.