Sabtu, 21 April 2018

FF | Kenangan-kenangan yang Minta Dipelihara

"Apakah aku sudah pada tahap mencintai diri sendiri?" Tanyamu suatu hari. Aku mematung, seperti biasa, sebuah kenangan menarik tanganku ke masa lalu.

Mula-mula, aku berada di antara keramaian. Aku melihat diriku merasa sedih tak menemukan sesiapa yang berjanji untuk selalu bersama. Ada yang seperti peduli, namun akhirnya hanya singgah untuk melukai. Barangkali aku adalah ketiadaan di sana, sebab mereka berwarna dan aku kelabu. Maka, aku tak terlalu suka keramaian sebab di sanalah aku paling merasa sepi.

Kemudian, aku berada di tempat sepi. Aku berwarna, tempat itu kelabu. Tak seorang pun datang. Tak seorang pun ada di situ. Mengapa? Barangkali ketiadaan adalah tempat itu sendiri, tak pernah ada yang datang, menetap atau sekadar singgah. Maka, kesendirian adalah saat dimana pikiran dan hatiku selalu saja bertengkar tentang hal-hal sederhana yang tak sederhana.

Aku terus berpindah ke tempat di mana kenangan-kenangan itu pernah minta ditanam dalam-dalam, dipupuk dengan airmata rindu yang kadang-kadang lebih mirip kata melupakan.
Ya, aku ingin melupakan segala di masa lalu. Namun, ah, kukira setelah kukubur, kenangan-kenangan akan mati. Namun, tidak. Mereka terus tumbuh dan kerapkali mengajakku bepergian. Entah apa tujuan mereka, yang pasti ini terjadi setiap kali kamu bertanya perihal mencintai dirimu sendiri.

Meski aku sedang diajak bepergian begini, aku tetap tahu apa yang kamu bicarakan. Aku tetap menyaksikan raut wajahmu yang bingung itu. Sebentar kamu bolak-balik seperti saklar listrik yang rusak. Kemudian melaur, memeluk kedua lututmu.

"Ayolah jawab aku," ucapmu lagi dengan wajah jeruk purut. Seketika semua kenangan beranjak pergi.

"Saat ini belum sepenuhnya. Tapi, bertanya begitu saja sepertinya sudah cukup baik,"

"Lalu, aku harus bagaimana?"

"Berusahalah mengikhlaskan apa-apa yang membuatmu selalu merasa terpenjara di masa lalu. Berusahalah untuk lebih menerima yang telah terjadi. Berusahalah menemukan hal baru yang lebih menarik. Berusahalah bersyukur lebih banyak dan bersabar lebih dalam. Aku tak ingin kamu melulu menarik diri ke dalam kenangan lama yang seolah masih basah padahal sudah seharusnya kering sejak dulu," jawabku. Lama kamu menunduk, berpikir dalam. Sepertinya, apa yang kusampaikan kali ini benar-benar menembus dinding hatimu.

"Baiklah. Aku ingin ke masa depan. Aku ingin mencintai diriku lebih banyak. Berguna lebih banyak. Bertemu orang-orang yang tepat dan membuat kenangan baru." Sorot matamu berubah. Lebih berbinar. Lalu, tiba-tiba segalanya menjadi aneh. Aku tak menemukan diriku dalam ketidakberdayaan. Biasanya, segalanya seperti kaset yang telah berputar ratusan kali namun tetap kembali ke titik semula dimana kamu menanyakan hal yang sama perihal mencintai dirimu sendiri.

Namun, barangkali ini memang saat yang tepat. Lihatlah, saat aku menoleh, kenangan-kenangan yang minta dipelihara, terpenjara di belakangmu. Sedikit pun mereka tidak menyusut meski berusaha tumbuh. Namun tak satu pun juga dari mereka yang mampu menggamit tangan kita seperti biasa. Kulihat kamu tersenyum. Baiklah. Aku ikut. Mari kita membuat kenangan yang tak menyusahkan lagi di masa depan.

Greenhill, 21 April 2018
__________
DP Anggi

Kamis, 19 April 2018

FF | SEPULUH

Hari ini kamu mengajakku bepergian. Betapa bahagianya aku ternyata kamu tak lupa ini hari apa setelah 'kukode' kamu semalam. Aku ingin tiap tahun di tanggal 10 bulan 10, kita selalu merayakan masa lalu dan berharap setiap tahun, masa depan yang menjadi masa lalu akan terus kita rayakan, dan ini sudah tahun ke-2.

Tempat yang kita kunjungi tahun lalu penuh dengan keramaian. Namun, tahun ini kamu membawaku ke tempat yang berbeda. Apakah ini kejutan?

"Mari melihat masa laluku," ucapmu memecah hening saat kita telah masuk ke sebuah galeri lukisan. Kemudian ponselmu berdering.

"Pergilah ke ujung lorong ini, melihat-lihatlah, dan berhenti persis di depan lukisan yang paling menarik perhatianmu. Tunggu aku di sana," ucapmu lagi. Aku pun mengikuti ucapanmu. Lalu, aku tiba di sebuah lukisan besar yang menarik perhatianku. Sepertinya, memang ini lukisan yang kamu maksud sebab kamu tahu aku penyuka mawar merah.

Sepuluh menit berlalu. Kamu belum juga menyusulku. Aku hanya mematung sembari menatap lukisan itu; latar hitam arang, wajah perempuan yang begitu tabah dalam kesendirian, mawar-mawar, dan dedaunan yang mengitarinya. Indah sekali, sekaligus menyedihkan.

Tiga puluh menit telah berlalu. Lama. Aku kembali ke depan untuk melihatmu tapi kamu tak nampak. Kuputuskan kembali lagi ke lukisan tadi dan kuperhatikan kembali, ada 10 mawar merah di lukisan ini. Baiklah. Akan kutunggu 10 menit lagi. Tetapi, keterlambatanmu membuatku curiga, akukah masa lalu yang kamu maksud?

Kemudian sebuah pesan masuk. Kuhela napas dalam-dalam sebelum membacanya. "Jangan patah hati. Kamu pasti bisa memiliki seseorang yang baru lagi. Tapi, kusarankan untuk tak terlalu menyepuluhkan segalanya. Karena dari awal aku tak pernah suka mengenang tanggal. Maka, selamat tinggal."

Sepuluh menjadi sepele kini. Dan kamu menjadi masa lalu paling bijak yang berharap aku bertemu seseorang yang baru. Klise.

Greenhill, 03 Februari 2018
_______
DP  Anggi

Rabu, 18 April 2018

Puisi | Kunci Hati


Untuk yang ke sekian, kata itu kamu simpan
kamu pendam dalam-dalam
kadang ingin kamu ungkapkan
Namun di ujung lidah ia tertawan

Denting waktu tak lagi berpihak
Dadamu penuh sesak
Doamu tak lagi mengiba
Kini malah penuh titah

Sebagai seorang hamba
Bagaimanakah ia
menghadapi cinta
yang merahasia?

Rindumu terpendam
kamu terluka dalam
harapan bertamu duka
Kamu pongah, lantas lengah

Kini kamu belajar lagi
Bagaimana mengemudi hati
Bagaimana cinta adalah uji
Bagaimana cinta dari-Nya adalah kunci

Cadika, 21 Maret 2018

_______
DP Anggi
Selamat Hari Puisi Sedunia!

Selasa, 17 April 2018

FF | Setangkai Bunga di Kepala Ibu

Aku tak tahu sejak kapan orang-orang menatap dingin ke arahku, atau mungkin ke arah ibu. Tatapan dingin ini terasa menyakitkan. Berulang kali aku meminta ibu agar pindah dari desa ini, ibu tak mau. Ada hal-hal yang selalu ibu pertimbangkan, entah apa itu.

“Tundukkan kepalamu jika tak ingin memiliki hati yang beku seperti mereka,” bisik ibu. Aku hanya menunduk lantas menyimpan tanya hingga tiba di rumah.

“Bu ...,” aku membuka percakapan. Saat itu, ibu telah membuka tudung di kepalanya. Lalu muncul setangkai bunga berwarna putih.

“Kapan aku memiliki bunga yang indah seperti ibu? Mengapa orang-orang di luar sana tidak memiliki setangkai bunga di kepalanya? Mengapa setiap kita keluar rumah mereka menatap dingin?” Pertanyaanku berloncatan. Entah mana yang akan dijawab ibu lebih dulu.

“Dahulu, mereka memiliki setangkai bunga di kepalanya. Lalu, di suatu hari yang kemarau, angin bertiup kencang. Mereka berhamburan keluar rumah dan berharap hujan segera turun agar bunga di kepala mereka tidak layu. Belum sempat ibu keluar rumah, angin kencang itu membawa bunga-bunga di kepala mereka. Sejak saat itu, tatapan mereka dingin, satu persatu dari mereka menghilang entah ke mana. Jangan khawatir, tak lama lagi akan ada setangkai bunga di kepalamu.” Aku tersenyum, lalu terlelap di pelukan ibu.

Esok hari, aku tak menemukan ibu. Setangkai bunga milik ibu, telah mengakar di kepalaku. Aku tak ingin setangkai bunga jika tak ada ibu. Berwaktu-waktu kemudian, aku telah menjadi bagian dari orang-orang yang memiliki tatapan paling dingin—aku memeluk ibu dalam ingatanku. Setangkai bunga dari ibu telah layu.

________
Greenhill, 07 April 2018
DP Anggi